wood

30. Saturday

Tante Mili

Aku sedang membaca buku di kamar tadi siang saat suamiku masuk dengan membawa satu vas berisi bunga mawar segar. "Dari Tante Mili," ujarnya. "Aku menemukannya di depan pintu kita." Ia lalu memberikan vas bunga itu beserta selembar kertas oranye. "Lagi?" tanyaku sambil tersenyum. "Iya. Aku rasa dia benar-benar menyukaimu. Selama aku mengenalnya belum pernah ia memberiku apapun," jawab suamiku.

Suamiku memiliki dua tante. Keduanya adalah kakak dari ayahnya. Salah satunya bernama Tante Mili (nama yang kusamarkan), yang merupakan kakak tertua. Tante Mili berusia tujuh puluh satu tahun dan pensiunan guru. Walaupun sudah tua, dia masih sangat energik.

Di keluarga suamiku, Tante Mili terkenal sangat-sangat hemat bahkan hampir terbilang pelit. Jika orang Jerman saja hampir-hampir mengatakannya pelit, apalagi bagi kita orang Indonesia. Contoh kehematannya adalah dia mengumpulkan kulit-kulit kacang yang ia makan supaya ia bisa menghemat kayu bakarnya maupun heater listriknya. Atau dia lebih memilih pergi ke tempat pemandian umum supaya dia bisa menggunakan air panas sepuasnya di sana ketimbang memakai air panas dirumahnya sendiri.

Di musim dingin, Tante Mili tetap menggunakan sepedanya untuk kemana-mana ketimbang memakai mobilnya. Dia juga tidak pernah memberi hadiah kepada siapapun. Sebenarnya cerita ini kudapat dari hasil memaksa suami untuk menceritakan tentang karakter-karakter dikeluarganya sewaktu aku belum sampai di Jerman. Supaya aku ada gambaran persiapan bagaimana menghadapi mereka saat bertemu. Suamiku sampai berpikir keras dengan permintaanku ini. Katanya:"jika aku harus berbicara tentang siapapun, aku mau berbicara yang kalaupun misalnya mereka ada di sini dan mendengar, mereka tidak akan sakit hati."

"Jika aku harus berbicara tentang siapapun, aku mau berbicara yang kalaupun misalnya mereka ada di sini dan mendengar, mereka tidak akan sakit hati."

Pertama kali aku bertemu Tante Mili waktu itu ia datang sebentar ke rumah ayah mertuaku. Orangnya cukup ramah menurutku. Kami berbincang sebentar dan aku bertanya bolehkah aku berkunjung kerumahnya kapan-kapan. Ia tampak agak terkejut dengan pertanyaanku tetapi kemudian dengan ramah dia mengatakan akan menunggu kedatanganku.

Di hari aku berkunjung kerumahnya, suamiku memperingatkanku untuk memakai baju yang cukup hangat walaupun nanti mantel luarku kubuka. "Akan lebih dingin walaupun di dalam rumah Tante Mili," katanya. Aku mengangguk saja. Akhirnya kami pun pergi dengan membawa sedikit buah tangan. Tante Mili tampak senang dengan kunjungan kami. Ia tidak menyangka aku membawa buah tangan. Berulang kali ia bilang jika mengunjunginya lagi tidak perlu membawa apa-apa. Aku cuma tersenyum. Di luar dugaan suamiku, rumahnya hari itu sangat hangat. Dia menyuguhi teh dan kue apel dari kebunnya. Dia juga mengundang kami lagi untuk makan siang lasagna sayuran karena ia vegan. Suamiku sampai heran karena belum ada yang diundang Tante Mili untuk makan bersama dirumahnya. Begitu juga mertuaku. Setelah kunjungan, mertua bertanya kepadaku bagaimana di rumah Tante Mili. Apakah dingin sekali atau tidak. Sama seperti suami, mertua kaget tetapi lega karena aku tidak kedinginan di sana seperti yang dikhawatirkannya.

Sejak kunjungan itu, paket-paket sering muncul di depan rumah kami dari Tante Mili. Suatu hari aku mendapatkan jaket musim dingin baru yang kata suamiku sangat mahal. Dan memang saat kucek harganya di internet aku pun merasa tidak nyaman. Bisa untuk makan setahun. "Pakailah," kata suamiku. "Walaupun bikin hangat ini sangat ringan dipakai." Aku pun bertanya padanya, "tapi kamu bilang Tante Mili orang yang sangat hemat? Kenapa sekarang dia memberiku banyak hadiah?" "Aku juga tidak tahu. Mungkin dia sudah berubah. Mungkin dia menyukaimu. Bagaimanapun kamu orang pertama yang mendapat hadiah darinya."

Buku, sepatu, keramik, taplak meja dan lain-lain bergiliran dikirimkan Tante Mili ke rumah kami. Aku pun berspekulasi bahwa Tante Mili bukan pelit sebenarnya, tetapi ia benar-benar hemat karena pernah hidup di zaman perang. Sementara suamiku berspekulasi mungkin ia terkesan saat aku mau mengunjunginya dan membawa buah tangan pula.

dari Tante Mili

Tante Mili memberiku pelajaran bahwa kebaikan kecil yang kita perbuat mungkin bisa sangat berarti bagi orang lain dan bisa mengubah orang tersebut menjadi lebih baik lagi. Jika ada orang yang pelit justru berbagilah padanya, jangan dibalas pelit. Berbuat baik tanpa memandang siapapun dan bagaimanapun orangnya takkan pernah salah. Terakhir kali bertemu dengan Tante Mili, ia banyak bertanya kepadaku soal Islam dan budaya Indonesia. Dia bilang dia suka melihat penampilanku yang tertutup. Dia bahkan menawariku gamis dan rok. Dia juga bertanya bagaimana aku bisa meninggalkan semua yang kupunya. Aku bilang aku memang tidak punya apa-apa. Pun pada akhirnya semua yang kita punya akan kita tinggalkan di dunia ini kecuali iman dan amal kebaikan. Ya, tugasku hanya menyampaikan dan Allah yang berhak menentukan siapa saja yang diberinya cahaya hidayah.

Suami menyarankan agar nanti ketika bertemu dengan Tante Mili lagi, aku tanyakan saja alasan mengapa ia suka memberi hadiah kepada kami. Sambil meletakkan vas berisi mawar di atas kotak kayu, akupun memikirkan apa yang harus kuutarakan pada Tante Mili ketika bertemu nanti.