wood

28. Thursday

Di Ladang Stroberi

Manusia. Saat musim hujan ingin cepat-cepat berlalu dan berharap musim panas datang. Saat musim panas menyapa, kembali berharap musim hujan. Begitu juga aku. Kadang-kadang saat di luar angin kencang dan membawa hawa beku, aku merindukan musim panas. Tetapi masih diingatanku bahwa musim panas kemarin betapa aku sangat menantikan musim salju ini.

Musim panas adalah musimnya para beri. Stroberi, arbei, raspberry, beri biru, beri hitam dan lain-lain. Beberapa diantaranya ada di kebun kami. Tetapi kata suamiku musim panas tidak afdol jika tidak berkunjung ke ladang stroberi. Tentu saja, buah yang paling ia sukai adalah buah stroberi. Jadilah musim panas lalu beberapa kali kami ke ladang stroberi.

Di ladang stroberi kita boleh makan sepuasnya dan memetik sendiri untuk dibawa pulang. Kita membawa keranjang atau tempat sendiri dari rumah. Di dekat ladang stroberi ada gubuk kecil untuk tempat si pemilik ladang bernaung. Di situ kita timbang keranjang kosong milik kita dan kita akan diberikan struk. Berat keranjang kita saat sudah penuh stroberi akan dikurangi berat yang tertera dalam struk.

Tempat menimbang keranjang dan membayar stroberi.

Pertama kali mengunjungi ladang stroberi waktu itu sehari sebelum Idul Fitri. Tidak ada pengunjung lain selain kami berdua. Ternyata kami pengunjung pertama. Pemiliknya bilang, ia baru membuka ladang stroberinya untuk pengunjung di hari itu. Beruntung sekali kami. Begitu melihat ladang semak stroberi yang penuh dengan buah kemerahan berkilau, air liurku langsung menetes. Yang kubayangkan adalah stroberi asam manis segar tetapi dominan asam seperti yang kumakan di Medan. Ternyata saat berbuka puasa dan aku makan, rasa stroberinya jauh dari itu. Rasa asam tidak mendominasi stroberinya melainkan manis segar.

Aku sibuk mengamati stroberi dan memotret, tanpa sadar suamiku sudah datang dengan keranjang penuh stroberi. Akhirnya aku pun tidak mau kalah dan loncat kesana kemari mencari stroberi yang paling besar dan merah. Tidak lama waktu yang diperlukan untuk memenuhi keranjang kami karena memang stroberinya besar-besar dan merah semua. Maa syaa Allah.

Sewaktu menimbang saat akan pulang, stroberi yang kami petik mencapai sembilan kilogram. "Aduh, sepertinya kita metiknya kebanyakan," ujarku pada suami. Paling nanti kubuat selai saja jika berlebih, pikirku kemudian. Harga stroberi petik sendiri lebih murah, yakni €3 per kilogramnya. Kalau beli yang sudah dipetik €6 per kilogram. "Kalau bisa metik sendiri dan lebih murah, siapa yang mau beli stroberi dengan harga dua kali lipat?" tanyaku ke suami. "Banyaklah. Tidak semua orang Jerman punya banyak waktu seperti kita ini," jawab suami. "Rugi sekali mereka," balasku sambil tertawa.

Ternyata buah stroberi yang aku kira kebanyakan itu hanya bertahan tiga hari saja. Aku baru mengetahui kalau kebanyakan orang Jerman (setidaknya di lingkungan keluarga suamiku) jarang sekali makan berat saat musim panas. Jadi tiga hari itu stroberi menjadi makanan utama suamiku selain salad dan sedikit roti. "Kamu yakin aku tidak perlu masak?" tanyaku. "Kalau kamu mau masak untuk kamu silahkan, tapi untukku tidak usah," jawabnya sembari menikmati stroberi. "Wah, kalau mertuaku orang Indonesia sudah diceramahi aku karena anaknya cuma dikasi makan stroberi saja berhari-hari!" candaku.

Stroberi dan biskuit saja untuk makan malam.

Begitulah, selama musim panas kemarin beberapa kali kami ke ladang stroberi. Awalnya aku kira perutku bakal sakit jika kebanyakan makan stroberi. Ternyata tidak. Rencanaku untuk membuat selai stroberi pun gagal karena stroberi-stroberi itu selalu habis kami makan. Dari sarapan hingga makan malam. Di ladang stroberi kuperhatikan hanya aku yang memotret, pengunjung yang lainnya sangat fokus terhadap stroberi mereka. Hihi. Termasuk anak-anak kecil. Pastilah aktivitas ini juga sangat menyenangkan bagi mereka. Akhirnya di kunjungan ke ladang stroberi berikutnya aku tidak pernah memotret lagi. Semoga pandemi segera berlalu supaya keponakanku bisa kuajak ke ladang stroberi nanti.