wood

25. Friday

Memori Pohon Pisang

Susi, sepupu suami di Munich mengundang kami kerumahnya. Dia akan memberikan kami pohon pisang. Ya, pohon pisang! Apakah pohon pisang bisa bertahan di negara empat musim? Susi bilang bisa, dengan berbagai syarat tentunya. Dia juga mengatakan bahwa pohon pisang ini berasal dari Mediterania. Semoga bisa sedikit mengobati rasa rinduku pada rumah, ujarnya.

Jadilah kami ke Munich untuk menjemput pohon pisang. Susi sangat senang kami datang berkunjung kerumahnya. Obrolan kami pun tidak jauh dari seputar kebun dan tanaman. Dan yang paling penting, membicarakan agar bagaimana pohon pisang itu bisa bertahan. Intinya nanti memasuki musim gugur, saat udara sudah mulai dingin lagi, si pohon pisang harus dipotong setengah lalu diselimuti dengan tebal. Tahun lalu saat Susi memotong pohon pisangnya, daun-daunnya diberikannya kepadaku yang langsung kujadikan bungkus lemper dan nagasari. Sebelum masuk musim gugur, pohon pisang juga harus rutin disiram. Seumur-umur belum pernah aku menyiram pohon pisang. Hihi. Pohon pisang dulu tumbuh begitu saja di kebun kami di Medan.

Makanan dengan bungkus daun pisang saat musim gugur lalu.

Membawa si pohon pisang ini beserta akarnya juga tidak mudah. Hati-hati kami memindahkannya ke mobil agar daun dan akarnya tidak rusak. Aku jadi harus duduk di bangku belakang demi si pohon pisang ini. Alhamdulillah, si pohon pisang sampai di rumah dengan selamat. Sesegera mungkin suami menanam kembali pohon pisang sebelum dia layu. Suami bertanya mau ditempatkan di mana pohon pisangnya. Aku menunjuk asal saja karena khawatir melihat daun yang mulai melayu.

Setelah menggali cukup dalam, berdirilah si pohon pisang di kebun kami. Tidak lupa kami menyiramnya banyak-banyak. Aku memandanginya dengan cukup lama. Lalu aku teringat semasa aku dulu sering memanen pisang dengan nenek, ayah dan ibu. Dulu kami punya banyak sekali pepohonan termasuk pohon pisang. Ada pisang banten dan pisang kepok. Pisang kepoknya pisang kepok mentega. Satu tandan bisa berisi lebih dari sepuluh sisir pisang dan buahnya besar-besar. Pisangnya berwarna kuning seperti mentega. Direbus saja sudah sangat lezat apalagi digoreng atau dikolak. Dijadikan keripik apalagi. Jantung pisangnya juga sangat lezat. Nenek dan ibu sering menggulainya dengan daun ubi atau direbus dan dimakan dengan bumbu pecal. Setelah kami pindah rumah, jarang sekali menemukan pisang kepok jenis itu. Alhasil setiap membeli pisang kepok goreng kami sering kecewa karena pisang kepok yang kami tahu ya pisang kepok mentega itu, bukan pisang kepok kecil-kecil yang banyak bijinya seperti yang sering dijual dipasaran.

Banyak lagi memoriku tentang pohon pisang. Sekarang melihat pohon pisang ini berdiri di kebun, di Jerman, bukan di Indonesia, membuat air mataku sedikit berlinang. Entah karena haru atau sedih. Pohon pisang, semoga kau bisa bertahan menemaniku di sini menghadapi cuaca empat musim.