wood

25. Tuesday

Idul Fitri Sendu

Hari-hari terakhir Ramadhan di Jerman hampir selalu hujan. Kecuali Ramadhan ke 26 dan 27. Malam ke-27 entah kenapa langit malam sangat cerah bertabur bintang. Bintang yang sangat banyak berkerlap-kerlip. Sangat indah.

Selebihnya, cuaca di sini masih kelabu. Matahari jarang kelihatan. Lebaran kali ini memang sangat sendu. Kami tidak begitu semangat merayakannya. Maksudnya, hampir tidak ada persiapan apa-apa. Selain rencana menghabiskan puasa dan lebaran di tanah air yang gagal lagi, berita tentang Palestina juga membuat kami urung untuk bergembira. Aku kira hanya aku saja yang merasa begini karena berada jauh dari keluarga. Ternyata keluarga dan teman-teman di Indonesia juga tidak begitu antusias untuk menyambut lebaran tahun ini. Lebaran kedua di masa pandemi. Pandemi yang entah kapan usai..

Untuk sekedar bernostalgia akan suasana lebaran di tanah air, aku membuat kue kering coklat. Sebenarnya suami request kue bangkit kampung juga. Tapi ya itu tadi, semangatku tidak ada. Jadinya kue kering kami hanya satu macam saja. Tiap kali membuat kue kering pasti teringat ibu, kakak dan adik. Sewaktu kecil kami selalu membuat kue lebaran yang sangat banyak karena kami tinggal bersama nenek dan lebaran semua keluarga pasti berkumpul di rumah. Saat membuat kue biasanya akan diwarnai drama-drama kecil khas anak-anak yang membuat kami bertengkar kecil. Hihi. Gara-gara ada yang cetak kue ketebalan atau ketipisan, ada yg saat mengolesi telur berantakan dan lain-lain. Setelah ibu mengancam kalau terus bertengkar kami tidak akan diperbolehkan membuat kue lagi barulah kami baikan. Masa kecil yang tidak pernah akan terlupakan.

Dari setengah resep dapat 3 toples kecil.

Melihat aku yang tidak bersemangat menyambut lebaran, suami mengajakku untuk sedikit mendekor rumah dan membeli bunga. "Bagaimana kalau kita bersikap seolah keluargamu akan datang? Pasti kita mau rumah kita terlihat siap untuk menyambut tamu seperti yang selalu dilakukan di Indonesia kan?" ujarnya. Oh ya, aku lupa, dia sudah pernah merasakan Idul Fitri di Indonesia. Makanya dia tau kue bangkit kampung dan bagaimana semarak lebaran yang kurindukan. Jadilah kami membersihkan rumah sebersih-bersihnya dan meletakkan bunga di sana sini. Sebenarnya bunga di kebun juga banyak tapi sayang untuk dipetik. Kami lalu membeli bunga di pasar. Dengan €5 saja rumah sudah penuh dengan bunga. Aku meletakkan bunga di dapur, sudut rumah, koridor, kamar mandi, di atas meja. Hasilnya lumayan menghibur hati. Tidak lupa kami mendengarkan takbiran live dari Saudi.

Pagi hari Idul Fitri hujan cukup lebat. Jalanan sepi karena di Jerman kebetulan hari ini juga libur. Sholat Id tidak dilakukan di lapangan melainkan di mesjid berhubung hujan dan masih pandemi. Sholatnya dibagi menjadi dua kloter karena mesjid tidak muat. Kami kebagian sholat kloter pertama yaitu jam enam pagi. Selesai sholat kami mendapat satu kotak baklava. Inilah moment yang cukup membuat hatiku bahagia. Bahwa aku tidak sendirian merayakan Idul Fitri tanpa keluarga. Bersama muslim dari berbagai latar belakang suku, agama dan ras, kami merayakan Idul Fitri sederhana namun tetap penuh hikmah.

Seusai sholat Id dan sampai di rumah, kami langsung melakukan video call dengan keluarga di Indonesia. Tidak banyak yang bisa kami hubungi karena yang pakai Signal dan Threema tidak banyak. Sementara kami sudah tidak pakai Whatsapp lagi sperti tahun lalu. Yang lainnya aku kirimi ucapan lebaran dari email.

Soal hidangan lebaran, tidak ada lontong, ketupat, rendang atau makanan khas lebaran lainnya. Suamiku memutuskan untuk makan roti saja. Sedangkan aku makan tempe mendoan. Malam sebelumnya, saat membersihkan kulkas, aku menemukan tempe di freezer. Itulah hidangan lebaran sederhana kami. Selain kurma dan baklava dari mesjid. Alhamdulillah. Semua harus disyukuri. Setidaknya kita semua bisa tenang beribadah Ramadhan dan merayakan Idul Fitri tanpa perang.

Hidangan lebaran sederhana.

Lebaran pertama kami hanya berdua. Ya, aku memang meminta suami untuk merayakan Idul Fitri tanpa keluarganya yang belum Islam. Dan saat natal pun keluarga suami tidak meminta kami untuk merayakan. Begitulah kami menghormati keyakinan masing-masing. Namun lebaran ketiga kami akan berlebaran bersama teman-teman di sini. Begitulah cerita Idul Fitri tahun ini. Alhamdulillah aku tidak sakit seperti tahun kemarin. Semoga tahun depan kami bisa menghabiskan Ramadhan dan Idul Fitri bersama keluarga di Indonesia. Aamiin.