wood

22. Monday

Warisan Ayah

"Sudah sampai habis bukunya dibaca?" Itulah pertanyaan yang selalu melekat dalam benakku tiap kali aku melihat buku. Pertanyaan yang diajukan ayahku saat aku berusia sekitar lima tahun. Waktu itu aku duduk di kelas satu sekolah dasar. Aku harus mengerjakan pekerjaan rumah berupa pertanyaan tentang ilmu pengetahuan alam. Saat aku sedang mengerjakan pekerjaan rumah tersebut, ayahku datang dan melihat ada beberapa soal yang aku kosongkan karena tidak mengetahui jawabannya. Kalau tidak salah, temanya tentang benda langit di malam hari. Berhubung ayahku sudah disampingku, maka aku tanyakan padanya soal-soal itu. Bukannya langsung menjawab pertanyaanku, ayahku beranjak ke lemari buku dan memberikanku sebuah buku yang menurutku saat itu cukup tebal. Aku tidak ingat judulnya.

"Jawabannya ada di sini", katanya. "Nanti setelah dibaca, semua pertanyaan yang belum kamu selesaikan itu bisa terjawab", lanjutnya sambil berlalu meninggalkanku. Akupun membolak-balik halaman buku tebal itu lalu mencoba mencari jawaban. Malamnya aku bertanya lagi pada ayah, mengatakan bahwa masih ada beberapa pertanyaan yang belum bisa terjawab. Di saat itulah dia mengajukan pertanyaan tadi. "Sudah sampai habis bukunya dibaca?" Ups, aku langsung deg-degan dan mundur teratur. Memang buku itu tidak kubaca sampai selesai. Aku hanya mencari-cari sekilas saja tadi. Akhirnya kubaca lagi buku yang diberikan ayahku pelan-pelan dan teliti. Dan tentu saja semua jawaban yang kucari ada di sana.

Begitulah, setiap kali aku bertanya sesuatu pada ayah, seringnya ia memberikanku buku sebagai jawaban. "Jangan malas membaca", ujarnya. Tidak peduli waktu itu aku belum genap berusia enam tahun, aku sudah diberikannya buku-buku tebal. Tidak lupa pula kadang-kadang dia membawa majalah kesukaanku serta kakak dan adik. Tiap kali dapat pekerjaan membuat furniture di rumah orang kaya, ayahku juga tidak segan bertanya apa mereka punya buku anak-anak bekas yang bisa dibawa pulang. Maka majalah Bobo, cerita rakyat, komik Donal Bebek, buku-buku Enyd Blyton, buku anak-anak pedesaan, sampai buku-buku berat seperti arsitektur, ensiklopedia dan sejarah menemani masa-masa kecilku dan kedua saudara perempuanku. Sayangnya waktu itu buku-buku bertema Islam masih cukup sulit ditemukan. Hanya beberapa yang kami punya.

Ayah juga mengizinkanku pergi ke perpustakaan provinsi sekali seminggu bersama teman-teman sekelas. Ia menitipkan pesan ke tukang parkir di sana, yang tidak lain adalah tetangga kami, jika aku datang tolong seberangkan dan lihatkan sampai aku dan teman-teman naik angkutan umum. Sabtu sore saat dia pulang, dia sering bertanya. "Buku apa yang hari ini dipinjam?" Ternyata tukang parkir selalu membuat laporan padanya jika aku berkunjung ke perpustakaan. Selain perpustakaan, aku suka meminjam buku kepada sepupuku Ayu dan kak Era.

Tidak hanya membaca, jika ada eksperimen di dalam buku yang bisa kami coba, maka kamipun mempraktekkannya. Suatu hari aku meminjam buku berjudul Sara dan Labu Kuning Raksasa karya Rose Selarose dari perpustakaan. Buku ini tidak akan pernah aku lupakan karena waktu itu aku sangat terpukau dengan gambar ilustrasinya tentang sebuah kebun di desa pegunungan (kalau tidak salah, pegunungan Alpen) yang memukau. Di akhir buku itu ada cara membuat kecambah atau taoge dan aku mencobanya bersama ayah.

Suka membaca dan belajar, itulah warisan berharga dari ayahku. Dari kebiasaannya menjawab pertanyaanku dengan buku, aku menjadi gemar membaca dan berpikir. Buku-buku tebal yang sekarang tidak bosan kubaca itu karena kebiasaan yang ditanamkannya. Warisan itu lebih berharga dari apapun. Mungkin suhu yang semakin dingin membuatku lebih melankolis. Tetapi memang belakangan ini saat aku berada di antara buku-buku, aku teringat moment-momentku dengan buku bersama beliau. Sebab itulah aku menuliskan tentang ini.

Pun sejak menikah dan tinggal di Jerman, aku jadi jarang sekali menggunakan gadget. Itu karena pengaruh suami. Dalam sehari, waktu yang digunakan suami dengan handphonenya paling banyak hanya sekitar dua jam. Sekedar untuk menjawab telefon dan membalas pesan. Di depan laptop hanya saat mengajar atau ada meeting. Selebihnya dia belajar dan membaca. Maka pertanyaan rutinnya setiap pagi adalah apa yang akan aku pelajari atau lakukan di hari itu. Apalagi sejak lockdown mulai tahun lalu, karena ia bekerja dari rumah, maka setiap hari dia mengharuskan belajar bersama. Seringnya setiap sore, sebelum Maghrib datang. BahasaIndonesia, Arab dan Jerman setiap hari Senin dan Rabu. Selasa untuk ilmu alam atau lingkungan, Kamis untuk aqidah, Jum'at untuk hafalan. Sabtu dan Ahad fleksibel apa yang mau dipelajari. Semoga lockdown dan pandemi segera berakhir supaya kita bisa menghadiri majelis ilmu secara langsung lagi.

Membaca, menulis dan belajar juga merupakan kebiasaan para ulama dan ilmuwan. Bacalah semua biografi ilmuwan sekaligus ulama-ulama besar. Adakah dari mereka yang tidak suka membaca buku? Mungkin aku tidak bisa meniru Imam Nawawi, yang mengurangi waktu tidur dan makan untuk belajar dan membaca. Mungkin juga tidak bisa seperti Syaikh Al Bani, yang menghabiskan dua belas jam untuk membaca buku. Beliau yang pertama kali datang dan keluar di perpustakaan Damaskus setiap harinya saat itu. Jika tidak bisa mendekati jadwal mereka, paling tidak, setiap hari ada waktu yang sengaja diniatkan untuk membaca dan menuntut ilmu.

Semoga warisan yang diberikan ayah padaku menjadi sumber pahala yang tidak pernah putus baginya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau do’a anak yang shalih.” (HR. Muslim no. 1631)

Setiap kali aku menulis isi website ini, aku selalu bertanya pada diriku sendiri. Apakah ini berguna? Tapi kemudian aku mengingat lagi bahwa gemar membaca akhirnya akan membuahkan keinginan untuk menulis juga. Seumpama teko yang terus diisi sampai penuh akhirnya tumpah. Pikiran yang terus diisi dengan bacaan akan menghasilkan keinginan untuk menuliskannya kembali. Karya-karya besar yang kita baca saat ini juga kebanyakan berawal dari tulisan mengenai keseharian penulisnya pada masa dahulu. Mungkin saat ini kita merasa apa yang kita tulis adalah hal biasa. Tapi siapa tahu mungkin ini berguna bagi generasi masa depan yang ingin mengetahui kehidupan kita di masa ini terutama di masa pandemi, sebagai pelajaran bagi mereka. Apa saja yang orang-orang lakukan di masa ini, bagaimana cara hidup kita dan lain-lain. Tentunya kita tidak lupa untuk siap bertanggung jawab dunia akhirat akan apa yang kita tulis. Jadi, teruslah membaca, belajar dan menulis.

Tambahan: Untuk yang tinggal di Medan bisa coba meminjam buku dari Pustaka Hanan, perpustakaan pribadinya kak Evyta Ar. Beliau seniorku waktu di kampus, kutu buku sekaligus salah satu blogger favoritku. Buku-buku koleksinya sangat berkualitas. Websitenya : evytaar.com.

Tulisan ini juga sebagai salam rindu untuk para sahabatku yang suka menulis. Cikgu Anim, si Kakak Kucing, kak Cahaya Fajar dan Wina.