wood

17. Thursday

Menulis Jurnal

Salah satu jurnal kesayanganku hilang lagi. Entah di mana aku menghilangkannya. Di Medan, di bandara atau di Jerman, aku sama sekali tidak tahu. Jurnal bersampul kulit berukiran namaku itu memang kubawa kemana-mana. Seperti jurnal-jurnal sebelumnya, aku tidak pernah menuliskan alamat atau nomor telefon ataupun email di sana. Jikapun ada orang yang menemukannya, mereka tidak akan tahu harus dikembalikan ke mana jurnal itu. Setelah uring-uringan beberapa hari, akhirnya jurnal itu kurelakan.

Jurnal yang hilang.

Tidak ada data-data yang begitu penting dalam jurnal itu, melainkan catatan-catatan yang kuanggap perlu, kutipan dari buku yang kubaca, tempelan bungkusan teh cantik yang kadang-kadang kuminum dan kutipan dari beberapa peristiwa. Ini mempengaruhi semangatku untuk menulis jurnal. Jurnalku memang jarang yang bertahan lama ditanganku. Beberapa jurnal ada yang rusak karena kebanjiran, ada yang turut dicuri saat rumahku kemalingan dan ada yang hilang karena kecerobohanku sendiri. Suamiku lalu memberikan jurnal baru sebagai hadiah, yang itupun belum membangkitkan semangatku untuk menulis jurnal di buku lagi. Namun, melihat hadiah tambahan darinya berupa pena kayu yang diukirnya sendiri dengan inisial namaku barulah aku merasa tidak tega untuk tak menggunakannya.

Menulis jurnal menjadi suatu kegiatan yang semakin banyak digemari belakangan ini, apalagi semenjak pandemi. Orang-orang yang yang mengalami gangguan kecemasan pun menjadikan kegiatan menulis jurnal sebagai suatu kegiatan yang membuat mereka lebih bahagia dan mengurangi rasa cemas. Apakah sama menulis jurnal dengan menulis buku harian?

Kegiatan menulis buku harian yang pertama kita kenal mungkin hanya di kalangan anak-anak perempuan. Saat duduk di sekolah dasar dulu atau saat menginjak remaja, rata-rata yang menulis buku harian adalah perempuan. Isi buku harian itu pun didominasi oleh perasaan tentang keluarga, teman maupun guru. Entah dimulai dari siapa, awal mula menulis di buku harian biasanya dimulai dengan „dear diary“… Aku ingat buku harian pertamaku bersampul hijau dan bergambar kodok. Di situ aku menuliskan keseharianku sebagai anak-anak. Tidak hanya berupa fakta terkadang juga beberapa ide gila. Aku pernah menuliskan bahwa aku berharap ada taoge ukuran besar yang bisa dipotong-potong karena aku malas sekali jika disuruh membantu memetik taoge. Tulisan ini entah bagaimana akhirnya diketahui seluruh keluarga dan akhirnya ide tentang taoge itu menjadi bulan-bulanan untukku selama beberapa waktu. Tidak hanya menulis buku harian, aku juga mengincar buku harian kakakku untuk kubaca. Buku hariannya digembok dan itu membuatku sangat penasaran. Begitu dia lengah dan ada kesempatan aku pun membaca buku hariannya. Merasa aku punya rahasianya, terkadang aku menggunakannya sebagai senjata untuk mengancamnya. Itulah awal „perang“ kami yang membuat masing-masing saling mengincar buku harian. Saat itu buku harian kami anggap sebagai harta yang patut dijaga. Masa kecil yang tidak terlupakan.

Hanya di bangku kuliah aku mengenal beberapa teman lelaki yang memiliki buku harian. Padahal kegiatan menulis banyak sekali membawa dampak positif. Jurnal sendiri bagiku adalah versi dewasa dari buku harian atau diary. Jurnal berisi catatan yang lebih lengkap dan runut ketimbang hanya coretan perasaan seperti yang kita lakukan di masa kecil atau remaja. Tidak hanya mencatat dan melaporkan kegiatan sehari-hari, dalam jurnal sebaiknya kita lebih merinci pikiran kita, hal yang kita lakukan dan lihat sehingga dari jurnal tadi kita bisa lebih mendalam dan berguna untuk perkembangan kita. Aku sendiri memiliki beberapa jurnal yaitu jurnal buku, jurnal belajar, jurnal agama, jurnal memasak dan jurnal kreatif. Dalam jurnal buku aku menuliskan kutipan-kutipan penting dari buku yang aku baca setiap bulan berikut pandanganku. Sementara hal-hal yang berkaitan dengan proses belajar kutuliskan dalam jurnal belajar. Apa-apa saja yang berhasil aku kuasai, apa saja yang sulit kupahami sampai hal-hal yang membuat konsentrasiku terpecah kujabarkan di situ. Hafalan ayat, laporan ibadah-ibadah rutin aku tuliskan di dalam jurnal agama. Menurutku ini penting sekali. Bukan untuk ditunjukkan ke siapa-siapa melainkan untuk evaluasi mandiri. Dari jurnal agama aku bisa melihat kapan biasanya aku sangat rajin beribadah, kapan malas sampai apa yang membuat malas. Jujur terhadap diri sendiri merupakan kunci agar kita bisa mengetahui perkembangan dan keseriusan kita.

Jurnal dari kertas bekas.

Sedangkan dalam jurnal memasak, selain resep, aku mencatat apa-apa saja yang aku masak dalam sebulan, kegagalan-kegagalan saat eksperimen masak dan catatan-catatan lainnya tentang makanan. Di dalam jurnal kreatif aku menempel bunga-bunga yang kukeringkan, menuliskan kalimat-kalimat yang aku suka, menyelipkan robekan kemasan teh, gambar dari majalah atau bungkusan yang kurasa bagus, ide-ide dan lain-lain. Jurnal kreatif ini yang paling cepat penuh di antara semuanya. Tidak semua jurnal yang kugunakan untuk menulis aku beli. Beberapa kubuat sendiri dari kertas bekas dan buku lama.

Banyak sekali jurnal-jurnal yang kita bisa buat. Selain jurnal-jurnal yang aku sebutkan di atas, kita juga bisa menulis jurnal tentang apa saja yang kita syukuri setiap hari, jurnal perjalanan sampai bullet jurnal yang sekarang ini diminati banyak orang. Apapun jenis jurnal yang kita buat, menurutku yang paling penting adalah kita merasa nyaman dengan apa yang kita tulis. Tidak harus menulis jurnal dengan bagus dan sempurna karena tujuan jurnal ini sendiri adalah pengembangan diri.