wood

14. Monday

Badai

Sekitar tiga minggu lalu badai melalui kota kami. Qadarullah aku sedang sendirian saat itu di rumah. Suami sedang bertugas ke luar kota dan kali itu aku tidak ikut. Sorenya, saat suami mau berangkat, perasaanku sudah tidak enak saat melihat langit yang begitu gelap. Gelap yang tidak bisa kudeskripsikan dengan kata karena baru itu aku melihatnya. Cepat-cepat aku menyuruh suami segera mulai berkendara agar saat angin kencang yang kami baca di prakiraan cuaca datang, dia sudah sampai di tujuan. Setelah suami berangkat, aku pun memeriksa dan memastikan semua pintu dan jendela tertutup rapat.

Hampir tiga jam kemudian, tepatnya setelah Isya, angin mulai menderu kencang. Begitu kencang sampai-sampai aku bisa mendengarnya dari dalam rumah. Dari jendela kulihat pohon-pohon bergoyang ke sana-sini dengan kuat. Aku mulai menyalakan tungku pemanas dikamarku. Pemanas biasa tidak mempan karena udara begitu dingin membuatku menggigil. Alhamdulillah suami mengabari jika ia sudah sampai di tujuan satu jam sebelumnya.

Aku pun beranjak ke tempat tidur. Walaupun mataku terpejam, aku tetap tidak bisa tidur. Di luar angin masih riuh. Langit gelap gulita. Aku turun lagi dari tempat tidur dan melihat ke luar. Lampu otomatis dari tetangga depan sesekali menyala karena ada benda yang terbang ditiup angin. Disorot lampu tersebut, kulihat tong sampah kertas tetangga sudah berada di tengah jalan. Pasti anginnya kencang sekali sampai bisa membuat tong tersebut tertiup hingga ke jalan. Aku tidak berhenti berdzikir.

Sampai tengah malam aku masih tidak bisa tidur. Adikku heran karena aku membalas pesannya begitu cepat. Di Medan sudah pagi, ia bertanya-tanya kenapa aku belum tidur. Setelah angin kencang, petir pun datang disertai hujan es. Aku tidak tahu sekuat apa badai dan petir malam itu karena di dalam rumah yang kedap suara pun masih terdengar cukup kencang. Atap rumah turut berderak. Sambil mencoba tidur aku terus berdo’a dan berdzikir. Terakhir kulihat jam menunjukkan pukul tiga pagi, setelahnya aku tertidur. Tidurku tidak nyenyak dan dalam tidur aku masih bisa mendengar suara petir dan badai malam itu.

Paginya, saat matahari sudah terbit kulihat semuanya tertutup salju tebal di luar. Salju masih turun dengan lebat. Udara dingin menusuk hingga tulang. Aku memakai pakaian berlapis-lapis seperti bawang. Angin sesekali bertiup tetapi tidak kencang dan petir tidak ada lagi. Hari kelabu itu kulalui dengan mengantuk dan tidak bersemangat. Darah tropisku sepertinya masih kuat. Tanpa matahari bersinar cerah rasanya sendu sekali dan badan ini seperti hendak rebahan di tempat tidur saja. Untunglah dua hari setelahnya suami berada di rumah kembali.

Menghabiskan waktu dengan menulis.

Dalam minggu itu ada dua kali badai datang. Dua-duanya pada malam hari. Walaupun begitu, siangnya matahari tidak tampak dan semuanya terasa kelabu. Aku menghabiskan kebanyakan waktu dengan membaca dan menulis jurnal. Dua buku tebal kutuntaskan dalam seminggu karena tidak bisa beraktivitas di luar. Walaupun cuaca buruk, kami bersyukur karena kami dalam kondisi yang baik,aman dan tidak ada bagian rumah yang rusak. Saat benar-benar kedinginan, suami menyuruhku menghidupkan spa agar aku berkeringat. Jika sedang begini, betapa aku merindukan udara hangat di Indonesia. Setelah merasakan musim dingin di Jerman, ketika berada di Medan kemarin aku tidak mengeluh walaupun hari sangat panas menyengat. Karena aku tahu, aku akan sangat merindukan saat-saat hangat seperti itu.