wood

13. Sunday

Panen Sayur di Binjai

Sewaktu pulang kampung ke Indonesia kemarin, aku menyempatkan diri mengunjungi keluargaku yang berada di Binjai, sekitar satu jam naik mobil dari Medan. Dua keponakanku, Al dan Zayn sangat gembira karena mereka ikut juga. Kujanjikan kepada mereka bahwa mereka bisa berlari-lari sepuasnya dan menjelajah di sana. Hal yang cukup sulit dilakukan di Medan. Sebelum ke Jerman, aku memang suka mengunjungi keluargaku yang berada di Binjai. Pamanku dan anak-anaknya tinggal di sana. Rumah mereka dikelilingi kebun dan sawah yang luas. Suasana di sana juga masih asri khas pedesaan dan penduduk sekitar ramah-ramah. Qadarullah, pamanku telah meninggal namun silaturahmi kami dengan istri dan anak-anaknya tidak putus.

Kami berangkat dari Medan sekitar pukul sepuluh pagi. Ibuku membawa kue cokelat untuk anak-anak sepupuku di sana. Seperti biasa, jalan lintas Medan ke Binjai cukup macet, apalagi di sekitar Kampung Lalang, namun kami di mobil tetap gembira dan tidak mengeluh. Al dan Zayn sibuk berdiskusi apa yang akan mereka lakukan di sana.

Sesampainya di rumah sepupuku, aku langsung disambut dengan pelukan hangat dari sepupu dan keponakanku yang perempuan. Kami sedikit menangis. Betapa kami sangat merindukan satu sama lain. Setelahnya, kami disuguhi es tebu yang baru diperas yang langsung kuteguk banyak-banyak. Ya, sudah lama sekali aku tidak minum es tebu. Setelah es tebu, bergantian kami disuguhi aneka makanan. Tape ketan, keripik pisang, kue-kue tradisional , pecal dan lain-lain. Melihat semua makanan itu mataku berbinar-binar. Rasa-rasanya ingin kusantap semuanya karena di Jerman cukup sulit untuk memakan makanan seperti ini.

Sibuk dengan makanan, aku lupa dengan janjiku pada Al dan Zayn untuk membawa mereka melihat-lihat sekeliling. Mereka pun merengek dan meminta keluar rumah dengan tidak sabar. Akhirnya kami pun ramai-ramai keluar. Salah seorang sepupuku bilang, tomat-tomat mereka sudah masanya untuk dipanen. Kami pun diberikan ember untuk memanen tomat sepuasnya. Setelah menunjuki Al dan Zayn ciri-ciri tomat yang sudah bisa dipetik, kamipun mulai memetik tomat-tomat yang merah. Alhamdulillah cuaca hari itu tidak panas sehingga kami leluasa di kebun tomat.

Tidak butuh lama untuk memenuhi ember kami karena banyak tomat yang sudah merah. Al dan Zayn selain memetik tomat juga sibuk mengejar kodok bersama anak dari sepupu. Sepupu kami juga ikut memetik tomat yang untuk dijual. Selain memetik, kami juga memakan tomat yang merah menggiurkan tanpa dicuci karena bebas dari pestisida. Setelah selesai memetik tomat, kamipun beralih ke kebun jagung dan gambas yang berada di depan kebun tomat. Sayangnya jagung dan gambas belum siap dipetik.

Tiba-tiba hujan turun. Tetapi kami tidak beranjak dari kebun sayur. Al dan Zayn sangat senang karena di hari itu mereka bebas bermain hujan dan berlari-larian. Sebenarnya aku cukup sedih mengingat hal ini. Hal yang dulu biasa kami lakukan saat masih kecil, yakni bermain bersama alam, sudah sulit mereka lakukan di Medan. Hal ini aku bicarakan juga dengan kedua saudara perempuanku, ibu mereka. Betapa bahagianya dulu kami bisa bebas memetik sayur-sayuran dan memanjat pohon buah-buahan di sekitar rumah kami dulu. Sayang rumah kami yang sekarang tidak memiliki kebun yang luas seperti dulu. Lahan untuk Al dan Zayn bermain di area terbuka pun menjadi terbatas.

Melihat Al dan Zayn yang sudah cukup bergembira bermain hujan-hujanan di kebun, akupun tidak lama-lama bersedih. Apalagi kami juga mendapat banyak sayuran. Selain tomat ada juga kacang panjang, timun, daun ubi, kelapa, dan pisang bertandan-tandan. Hidup di desa menurutku memang lebih enak. Kita tidak membutuhkan begitu banyak uang untuk bertahan hidup. Kami pulang ke Medan dengan mobil penuh sayur-sayuran dan buah. Alhamdulillah.