wood

06. Friday

Rindu Rumah

Hampir setiap perantau pasti merasakan hal yang namanya rindu rumah atau homesick. Begitu juga aku di sini, di Jerman. Aku menganggap ini adalah suatu hal yang positif yang berarti ada ikatan emosional yang cukup kuat antara aku dan tempat tinggalku dulu, yaitu Medan. Medan dengan segala ingatan pahit dan manis yang ada didalamnya. Rindu rumah, rindu keluarga. Ada beberapa teman yang juga sama-sama dari Medan, saat kutanya apa mereka merasakan rindu rumah atau tidak, ternyata mereka menjawab tidak. Alasannya karena memang tidak ada ikatan emosional di sana atau malah yang ada kenangan yang terlampau pahit. Jadi aku bersyukur masih bisa merasakan rindu rumah.

Alhamdulillah dengan adanya teknologi, perasaan rindu rumah ini dapat sedikit terobati. Email, chat, video call sangat membantu menghubungkan kembali para perantau seperti aku dengan keluarga. Jadi aku tidak perlu merasakan homesick yang parah seperti perantau zaman dahulu. Rindu rumah sendiri disebut homesick atau sakit karena merindukan rumah sebab pada zaman dahulu banyak orang yang benar-benar sakit secara fisik maupun meninggal akibat menanggung perasaan ini. Terdapat banyak surat dan buku harian masa lalu yang mengungkapkan hal ini. Para penderitanya menjadi cemas, kurang tidur, tidak nafsu makan dan menderita jantung berdebar-debar. Yang ada di benak mereka adalah nostalgia tentang kampung halaman atau rumah mereka tetapi mereka tidak menyadari semua itu berhubungan dengan kondisi fisik mereka bahkan bisa berakibat fatal. Istilah nostalgia sendiri baru ditemukan pada tahun 1688 oleh seorang mahasiswa kedokteran Swiss di Universitas Basel. Dalam disertasinya ia mengungkapkan banyak tentara bayaran Swiss yang bertugas di luar negeri menghadapi serangan nostalgia ketika diingatkan akan pemandangan, suara dan hal-hal yang berkaitan dengan rumah. Para tentara ini menjadi sakit dan obatnya adalah dikirim pulang ke pegunungan Alpen. Seiring berkembangnya teknologi, saat surat-surat lebih mudah dikirim dan komunikasi dengan keluarga di kampung halaman lebih lancar maka rindu rumah yang tadinya berupa penyakit berubah menjadi perasaan sentimental saja. Begitupun, rindu rumah juga tidak bisa dianggap sepele.

Jika matahari tidak terlihat atau udara terlampau dingin rasa rindu rumah ini muncul dihatiku. Jika melihat ibu-ibu yang mirip dengan ibuku, atau balita yang sedang bermain yang mengingatkanku pada keponakanku. Pandemi yang membatasi segala aktivitas juga membuatku rindu akan segala perkumpulan di Medan. Majelis taklim, kumpul keluarga bahkan hajatan tetangga. Kadang-kadang aku bahkan merindukan tetanggaku yang serba mau tahu. Tentang makanan apalagi. Untuk mengurangi perasaan sentimental ini maka biasanya aku langsung berkomunikasi dengan keluarga di Medan atau memasak makanan Indonesia yang rumit.

Apakah kamu juga sedang terjebak pandemi dan merasakan rindu rumah? Kamu tidak sendirian. Saat menuliskan ini, akupun sedang merindukan rumah, merindukan keluarga, merindukan berbahasa Indonesia setiap hari, merindukan nangka, durian, rambutan, rindu jajanan yang lewat di depan rumah, rindu keributan-keributan konyol dan banyak lagi. Memang tidak banyak yang kita lakukan selain bersabar. Fokuskan diri kita pada aktivitas-aktivitas yang bermanfaat, mempelajari hal-hal yang baru dan menulis akan membantu mengobati perasaan itu. Jika sedang berkomunikasi dengan keluarga, sampaikan juga perasaan yang kita alami dan rasa sayang kita pada mereka. Semoga secepatnya kita bisa pulang ke kampung halaman dan berkumpul dengan keluarga.