wood

06. Sunday

Musim Dingin di Tanah Heidi

(bagian dua)

Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, musim dingin kali ini kami berada di tanah Heidi, Swiss. Heidi, si anak desa yang dalam ceritanya tidak betah tinggal di kota besar dan lebih memilih untuk tinggal di pedesaan Alpen bersama kakeknya. Jika kita ke Swiss, kita bisa ke Heidiland dan Heididorf (desa Heidi) untuk melihat bagaimana kehidupan Heidi seperti di bukunya. Berhubung kami ke sana saat musim dingin di mana Alpen diselimuti salju tebal, maka yang kami lakukan hanyalah bermain seluncuran di puncak Alpen.

Dari rumah, kami mengendarai mobil ke lereng atas Alpen sampai ke parkiran terakhir. Dari parkiran ini kami lalu mendaki sekitar satu jam. Kami pergi bersama dua anak sepupu suami, Mirabelle dan Silas. Suamiku berjalan sambil membawa seluncuran yang besar sementara Silas membawa seluncuran kecil untuk dirinya. Saat itu suhunya sekitar minus lima derajat Celcius. Aku memakai pakaian berlapis-lapis seperti bawang supaya hangat. Matahari cerah dan langit berwarna biru. Sesekali aku berhenti bersama Mirabelle untuk melihat jejak-jejak hewan mungil di atas salju. Sepertinya jejak kelinci.

Jejak kelinci.

Setelah mendaki kurang lebih satu jam, sampailah kami di puncak Alpen. Maa syaa Allah. Aku tidak bisa berkata apa-apa saat pertama kali melihat sekelilingku. Puncak Alpen yang biasa kulihat dari kejauhan sekarang di depan mata. Aku jadi teringat kemasan cokelat Toblerone yang ku makan di Medan. Ternyata memang seperti itu aslinya.

Pemandangan dari puncak Alpen

Dari puncak Alpen, aku memandang ke bawah, ke arah rumah-rumah di desa Heidi yang jadi tampak kecil. Dan akupun merasa kecil sebagai manusia. Maha Besar Allah yang menciptakan semua ini. Aku jadi teringat satu kalimat. Tetapi aku lupa ini kalimat dari siapa.

Orang yang sombong itu seperti orang yang sedang berada di puncak gunung. Ia melihat orang lain kecil, padahal orang yang dibawahnya pun melihat ia sebagai sesuatu yang kecil.

Hari itu aku tidak banyak mengambil gambar dengan kamera handphoneku seperti biasa. Aku benar-benar menikmati apa yang kulihat dengan mataku. Karena banyak bergerak tidak sadar aku jadi merasa gerah dan melepas jaket tebalku yang membuat suamiku tertawa. „Waduh, gawat! Sekarang anak tropis sudah kepanasan di suhu minus derajat,“ candanya. Aku dan suami duduk-duduk melepas sedikit penat dengan meminum teh hangat dan apel yang kami bawa dari rumah. Si kecil Mirabelle dan Silas bermain lompat-lompatan dan lempar-lemparan salju. Sepertinya anak-anak memang susah untuk diam. Hihi.

Setelah cukup beristirahat kamipun mulai mempersiapkan diri untuk berseluncur. Mirabelle akan berseluncur bersamaku dan suami. Sementara Silas akan berseluncur sendiri. Saat kuungkapkan kekhawatiranku kepada suami tentang Silas yang masih berumur tujuh tahun akan meluncur sendirian, suami menenangkanku. „Dia anak gunung,“ katanya meyakinkan. Baiklah, akhirnya aku berhenti khawatir. Setelah mengucapkan bismillah, kamipun mulai berseluncur. Seluncuran kali ini beda dengan seluncuran tahun lalu. Tahun ini lebih menegangkan karena kami berada di puncak Alpen. Di kiri kami berupa lembah salju yang semakin memacu adrenalinku. Aku belum terbiasa dengan ini. „Hast du Angst (Akapakah kamu takut)?“ tanyaku sambil agak berteriak kepada Mirabelle. „Ein bisschen. Aber schneller..schneller!“ Mirabelle menjawab ia sedikit takut tetapi meminta agar seluncurannya lebih kencang. Ternyata aku lebih takut dibandingkan anak kecil berusia lima tahun. Suamiku makin memperkencang seluncurannya yang membuatku berteriak. Silas sudah mendahului kami di depan. Fiuuusssh. Dan kamipun sampai di bawah.

Mirabelle dan Silas sepertinya masih punya energi untuk seluncuran lagi tetapi aku tidak. Seluncuran di hari itu cukup menyenangkan tetapi aku tidak sanggup untuk melakukannya dua kali. Bagaimanapun aku masih perempuan tropis yang belum begitu terbiasa dengan medan pegunungan salju. Sebelum waktu Dzuhur kamipun sudah berada di rumah kembali.