wood

04. Wednesday

Suatu Sore di Bukit Bunga Clover

Sore itu langit cerah dan cuaca cukup bersahabat. Aku dan suami memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati musim panas yang mungkin tidak lama lagi akan pergi. Aku ingin pergi ke bukit bunga clover di desa yang tidak jauh dari kota Landsberg. Musim panas lalu aku suka bermain di sana. Sedangkan musim panas ini belum sekalipun aku menginjakkan kaki ke bukit itu. Aku ingin menulis jadi aku membawa buku catatanku. Sementara suami hanya ingin melepas penat setelah bekerja dan makan es krim di sana, jadi dia membawa dua es krim almond di kotak pendingin agar tidak mencair.

Sebenarnya bukit yang kumaksud tidak hanya ditumbuhi bunga clover. Ada bunga buttercup dan bunga liar lain di sana. Tetapi saat musim panas kemarin, kulihat bunga clover mendominasi bukit itu, makanya kusebut bukit clover. Bunga clover ungu dan bunga clover putih. Tidak jauh dari bukit itu ada ladang gandum. Dibawahnya terhampar padang rumput dan ladang kentang. Semuanya dikelilingi pepohonan yang hijau. Hari itu pegunungan Alpen tidak terlihat, tetapi tetap saja semuanya memukau. Maa syaa Allah. Di sisi lain bukit, ada danau kecil. Sore itu kami juga melihat beberapa balon udara.

Setelah menikmati es krim, aku yang tadinya niat menulis di sana malah ikutan termenung seperti suamiku. Dia benar-benar hanya duduk dan menikmati apa yang dilihatnya. Tidak sepertiku yang kadang-kadang sibuk memotret pemandangan yang kulihat dengan handphone. „Kalau sedang duduk di sini, atau di kebun, sepertinya dunia sedang baik-baik saja ya,“ ujarnya. Aku pun memandang ke arah yang ia lihat. Padang bunga, padang rumput, danau, pohon walnut, pohon birch. Semuanya tenang dilatari langit sore yang keemasan. Ya, di sini, dari sudut sini, memang seperti tidak terjadi ada apa-apa di dunia ini. Sepertinya tempat ini tidak terpengaruh oleh waktu dan keadaan. Tetapi begitu sampai di gerbang kota, barulah semuanya berbeda. Dari masa perang dunia dulu sampai masa pandemi sekarang, aku rasa tempat ini selalu tenang begini. Begitu juga tempat-tempat lain di belahan dunia yang jauh dari kota dan keramaian.

Rasanya aku bisa duduk berjam-jam di bukit clover. Bosan duduk, akupun rebahan. Memandang langit keemasan dan burung-burung yang beterbangan. Lalu memetik bunga-bunga liar untuk dibawa pulang dan diletakkan dalam vas bunga.

Pulangnya kami menelusuri desa Lechmühlen, desa yang terdapat di kaki bukit clover. Desa ini bisa ditempuh sepuluh menit dengan naik mobil atau sekitar dua puluh menit dengan sepeda. Tidak jauh. Desa yang kecil dan rumah-rumahnya sederhana, tetapi terlihat cantik, mengingatkanku akan rumah-rumah tua di buku cerita. Kami melewati sekolah tua yang sudah berdiri sejak tahun 1842. Tepat di depan sekolah itu bergerombol semak mawar yang harum. Di seberang sekolah ada pohon walnut besar yang dibawahnya ada bangku kayu dan disebelahnya ada mata air yang dialirkan lewat keran. Semua mata air yang kita temukan di Jerman, airnya boleh kita minum kecuali yang ada tulisan „tidak untuk diminum“. Biasanya aku selalu menemukan mata air yang bisa diminum itu tetapi aku tidak pernah meminumnya. Sore itu aku haus dan ingin minum air dari keran itu, tetapi setelah kudekati ternyata ada tulisan „tidak untuk diminum“. Hihi. Sayang sekali. Aku harus menahan haus sampai tiba di rumah.

Sekolah tua

Sebelum matahari terbenam, kamipun pulang. „Nikmatilah musim panas ini selagi bisa,“ ujar suamiku padaku. “Sepertinya hari-hari dingin tidak lama lagi akan datang”